CITA-CITA SETELAH LULUS JADI SARJANA SISTEM INFORMASI??????

Kebanyakan orang mungkin setelah lulus jadi sarjana komputer ingin kerja diperusahaan yang terbilang bonavit dan berkelas.
Akan tetapi lain dengan saya pribadi,apabila lulus jadi sarjana komputer "yang benar-benar lulus"yang saya inginkan adalah mendirikan jenis usaha sendiri dengan modal sendiri dan kemampuan sendiri.Memang tak dipungkiri saya pun ingin kerja di kantor dengan fasilitas yang sangat mapan.akan tetapi bila punya usaha sendiri adalah hal yang sangat diinginkan dan menjadi suatu tujuan hidup yang sangat ingin dicapai.
Alangkah bahagianya orang yang punya usaha sendiri,pengusaha bisa mengatur jam kerjanya sendiri tanpa dibatasi waktu kerja,lain halnya dengan pegawai yang kerja untuk orang lain...
WALAUPUN ENAK YA........
TETAP SAJA BUKAN MILIK PRIBADINYA

posted under | 0 Comments

STRATEGI SISTEM INFORMASI NASIONAL MENJELANG TAHUN 2000

Sadar atau tidak, informasi merupakan komoditi strategis di abad mendatang. Globalisasi informasi memaksa Indonesia untuk memperhitungkan sistem informasi pendidikan dan pembangunannya supaya tetap kompetitif di era globalisasi. Untuk itu, alternatif strategi yang memungkinkan Indonesia secara swadaya dan swadana masyarakat membangun sistem informasi nasional-nya perlu dipikirkan sejak dini. Hal ini penting untuk lebih meningkatkan local content dan meningkatkan bargaining power Indonesia terhadap luar negeri.

Mengapa infrastruktur/sistem informasi nasional? Bayangkan apa jadinya masyarakat jika kebijaksaan pemerintah diputuskan hanya berdasarkan argumentasi "hand-waving" tanpa ditumpu data yang lengkap. Bagaimana dengan koordinasi antar departemen? - contoh klasik, penggalian jalan raya untuk telepon/listrik/air minum yang tidak pernah tuntas. Dapatkah masyarakat umum dengan mudah mengetahui/mengakses berbagai informasi, pengetahuan teknologi tepat guna, perundangan, yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat banyak? Semua ini penting dipertimbangkan dalam membangun sistem informasi nasional yang menumpu Indonesia yang kompetitive. Dua faktor/parameter utama yang perlu diperhitungkan dalam strategi pengembangan sistem informasi nasional adalah SDM yang berkualitas dan alternatif sistem/teknologi yang digunakan.
Sistem informasi tertulis yang interaktif (dua arah) umumnya lebih strategis untuk pembangunan masyarakat karena memungkinkan pembentukan sistem umpan balik yang memungkinkan seluruh sistem negara yang stabil dan merata. Untuk menjangkau pelosok tanah air, perlu dipertimbangkan media, teknologi & metoda komunikasi sehingga dapat dibangun secara swadaya & swadana dengan teknologi Indonesia. Hal ini perlu untuk menekan 70-80% ketergantungan peralatan komunikasi import saat ini. Di samping itu, sistem informasi pelosok harus dapat diintegrasikan dengan tulang punggung informasi nasional (national information highway). Pesatnya teknologi informasi berbasis komputer, cepat atau lambat sistem yang dikembangkan harus menggunakan komputer yang terintegrasi dalam jaringan komputer.
Standarisasi penting, dunia telah membangun sebuah jaringan komputer InterNet yang menggunakan standard protokol TCP/IP yang memungkinkan berbagai information superhighway (ratusan Mbps) untuk berintegrasi bermacam jenis komputer bahkan dengan jaringan packet radio yang telah berkembang di Indonesia. Mengingat TCP/IP adalah protokol yang terbuka, kami menghimbau penggunaan protokol TCP/IP sebagai standard dalam pengembangan infrastruktur informasi nasional. Sebagian besar teknologi TCP/IP bahkan sudah dapat dibuat dan dikembangkan sendiri di Indonesia dengan dimotori oleh rekan-rekan di ITB.
Dari aspek teknologi, tentunya akan sangat berguna jika Indonesia dapat membangun infrastruktur informasi nasional secara mandiri - prioritas perlu diberikan pada infrastruktur informasi hulu untuk menjamin sinergi pembangunan sistem informasi nasional; di samping menambah local content dari peralatan telekomunikasi yang diinstalasi. Beberapa alternatif teknologi informasi hulu, seperti packet radio network dan interkom, telah dibuat sendiri bahkan diimplementasikan dengan swadaya dan swadana masyarakat. Bahkan tidak tanggung-tanggung, digunakan untuk mengintegrasikan beberapa universitas di Indonesia timur dan sekolah menengah atas ke berbagai jaringan perguruan tinggi yang telah beroperasi khususnya di Jawa. Menarik bahwa sebagian besar proses bertumpu pada inisiatif dan swadaya masyarakat. Hal ini sangat membantu proses pendidikan jarak jauh dengan meningkatkan effisiensi pendidik dibantu media elektronik. Tentunya sangat membantu program wajib belajar yang dicanangkan. Badan-badan nasional perlu memikirkan peluang regulasi dan kesempatan untuk memungkinkan percepatan perkembangan infrastruktur informasi hulu berbasis swadaya masyarakat dengan teknologi Indonesia.
Saat ini, implementasi teknologi informasi hulu lebih dititik beratkan pada institusi SDM. Hasil nyata telah terlihat dengan meningkatnya penguasaan teknologi informasi oleh cukup banyak SDM di Indonesia yang kebetulan saat ini masih terpusat di wilayah Bandung. Dengan bantuan Dewan Riset Nasional (DRN) yang membuka kemungkinan beberapa perguruan tinggi & lembaga penelitian untuk mengakses jaringan komputer InterNet melalui IPTEK-NET merupakan investasi yang sangat terasa manfaatnya bagi pembentukan SDM terutama karena terbukanya akses para mahasiswa & peneliti ke sumber informasi mutakhir di manca negara. Akhirnya, terjadi akselerasi proses pembentukan SDM yang sangat menguntungkan.
Penguasaan teknologi dan terbentuknya SDM, memungkinkan kemudahan pembangunan infrastruktur sistem informasi nasional yang bersifat multisektoral dan melewati batas departemental sehingga sangat memudahkan koordinasi antar departemen. Hal ini membuka kemungkinan kemudahan akses berbagai information server multisektoral. Tidak mustahil, timbul sebuah standard Geographics Information System (GIS) nasional yang mudah diakses - yang merupakan bagian cukup penting sebuah sistem informasi nasional yang sangat strategis untuk pembuatan kebijakan nasional yang sifatnya multisektoral dan multidisiplin.
Sebagai rangkuman, standard TCP/IP disarankan sebagai standard nasional. Teknologi infrastruktur informasi hulu yang telah dikuasai Indonesia telah diimplementasikan dan dapat dikembangkan lebih lanjut dalam skala prioritas. Pembentukan SDM & penguasaan teknologi dipercepat oleh adanya infrastruktur informasi nasional. Sistem GIS lintas sektoral yang terbentuk akan sangat membantu penentuan kebijakan nasional. Regulasi perlu dibuka khususnya untuk mempermudah pembangunan sistem informasi untuk membantu pembentukan SDM.

posted under | 0 Comments

UNDANG-UNDANG IT

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR . TAHUN .
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa
tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan
Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi
Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat
guna mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara
langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk‐bentuk perbuatan hukum baru;
d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk
menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan
Peraturan Perundang‐undangan demi kepentingan nasional;
e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur
hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman
untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai‐nilai agama dan sosial
budaya masyarakat Indonesia;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, dan huruf f perlu membentuk Undang‐Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG‐UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang‐Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya,
yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara
negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat
tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan
suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang
diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan
Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi
Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang
layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang
diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan
mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang
dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai
alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang
melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau
dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang
merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode
atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun
badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Pasal 2
Undang‐Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang‐Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar
wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar
wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian
hukum, manfaat, kehati‐hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas‐luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan
kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin
dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah.
2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum
Acara yang berlaku di Indonesia.
3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang‐Undang ini.
4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang‐Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang‐Undang harus dibuat dalam bentuk akta
notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa
suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain
berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik
yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang‐undangan.
Pasal 8
(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim dengan
alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima
dan telah memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali Pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem
Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.
(3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem Elektronik tertentu untuk menerima Informasi
Elektronik, penerimaan terjadi pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki
Sistem Elektronik yang ditunjuk.
(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman atau
penerimaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki
sistem informasi pertama yang berada di luar kendali Pengirim;
b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki
sistem informasi terakhir yang berada di bawah kendali Penerima.
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang
lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Pasal 10
(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya
berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik
tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan
persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan
atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang‐kurangnya
meliputi:
a. Sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati‐hatian untuk menghindari penggunaan
secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda‐nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh
penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus
segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai
Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah
dibobol; atau
2. Keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti,
kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. Dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda
Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan
Sertifikat Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
Pasal 13
(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik untuk pembuatan Tanda
Tangan Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik
dengan pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di
Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat
(5) harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa, yang
meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan;
b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan
c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan keamanan Tanda Tangan Elektronik.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15
(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan
aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem
Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang‐undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem
Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai
berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh
sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang‐undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan
Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau
simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik selama transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang
berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari
Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan
kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang
berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas
Hukum Perdata Internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem
Elektronik yang disepakati.
Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi
yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan
olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi
tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan
pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
penyelenggara Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian
pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya
keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang
dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam
proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL,
DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI
Pasal 23
(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki Nama
Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan
pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak
Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang dirugikan karena
penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan
Nama Domain dimaksud.
Pasal 24
(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain oleh masyarakat, Pemerintah berhak
mengambil alih sementara pengelolaan Nama Domain yang diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah Indonesia dan Nama Domain yang
diregistrasinya diakui keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi
karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di
dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang‐undangan.
Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang‐undangan, penggunaan setiap informasi melalui
media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang
bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan
atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang‐Undang ini.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut‐nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau
Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas
transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di
dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak
menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan,
dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam
rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang‐undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah,
menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun
memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem
Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau
mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya.
Pasal 34
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual,
mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus
dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem
Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan
kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara
sah dan tidak melawan hukum.
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah‐olah data
yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang
mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
Pasal 37
Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia
terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik
dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan
Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
Pasal 39
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 40
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib
dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan
rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan
pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam
cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan
dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang‐
Undang ini.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang
dibentuk oleh masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang‐Undang
ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan
ketentuan dalam Undang‐Undang ini.
Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang‐
Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan
publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak
pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang‐Undang ini;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai
tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait
dengan ketentuan Undang‐Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana berdasarkan ketentuan Undang‐Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga
melakukan tindak pidana berdasarkan Undang‐Undang ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan
Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan
Undang‐Undang ini;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai
tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang‐Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi
Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundangundangan;
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana
berdasarkan Undang‐Undang ini; dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang‐Undang ini sesuai
dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib
meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasilnya kepada penuntut umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik
dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
menurut ketentuan Undang‐Undang ini adalah sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang‐undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus
juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah).
Pasal 47
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 48
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal 49
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 50
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 51
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
Pasal 52
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau
eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan
terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok
ditambah sepertiga.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan
terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank
sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana
maksimal ancaman pidana pokok masing‐masing Pasal ditambah dua pertiga.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan
oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang‐Undang ini, semua Peraturan Perundang‐undangan
dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi
yang tidak bertentangan dengan Undang‐Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
(1) Undang‐Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya
Undang‐Undang ini. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‐Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ANDI MATTALATA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN
PENJELASAN
RANCANGAN UNDANG‐UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ......TAHUN ....
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
I. UMUM
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat
maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah
pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan
sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini
menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika.
Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan
perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain
yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia
maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah‐istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang
dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun
global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan
sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah
ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik,
khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan
melalui sistem elektronik.
Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya
mencakup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan
telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer adalah
sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang
apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat
komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk
persiapan dalam merancang instruksi tersebut.
Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan
penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang
berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan
informasi elektronik. Sistem informasi secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwujudan
penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk organisasi dan manajemen sesuai dengan
karakteristik kebutuhan pada organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya. Pada sisi
yang lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan
mesin yang mencakup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia,
dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya mencakup fungsi input, process, output, storage,
dan communication.
Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan
normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus
pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi sederhana karena
kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana
pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah
melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di Internet. Di
samping itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan
saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga
ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam
waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan
rumit.
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk
kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (electronic commerce) telah menjadi bagian dari
perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang
teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dibendung,
seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi informasi, media, dan
komunikasi.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat
virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan
pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika
cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum.
Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat
buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai
Orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e‐commerce antara lain
dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di
atas kertas.
Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan
teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu,
terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan aspek hukum,
aspek teknologi, aspek sosial, budaya, dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam
penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian
hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Undang‐Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata‐mata untuk perbuatan hukum yang
berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk
perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara
Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang
memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal. Yang dimaksud dengan
"merugikan kepentingan Indonesia" adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan
ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan
negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.
Pasal 3
"Asas kepastian hukum" berarti landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
"Asas manfaat" berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan
untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Asas kehati‐hatian" berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap
aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
"Asas iktikad baik" berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak
bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak
lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
"Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi" berarti asas pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti
perkembangan pada masa yang akan datang.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Huruf a
Surat yang menurut undang‐undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat
berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara
perdata, pidana, dan administrasi negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 6
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas
semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa
saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya
tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara
penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.
Pasal 7
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat
digunakan sebagai alasan timbulnya suatu hak.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan "informasi yang lengkap dan benar" meliputi:
a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai
produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta
menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi
barang/jasa.
Pasal 10
Ayat (1)
Sertifikasi Keandalan dimaksudkan sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan
secara elektronik layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang. Bukti
telah dilakukan Sertifikasi Keandalan ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada
laman (home page) pelaku usaha tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Undang‐Undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu
kode, Tanda Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada
umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan persyaratan minimum yang harus
dipenuhi dalam setiap Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluas‐luasnya
kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan
Elektronik.
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain, mengatur tentang teknik, metode, sarana, dan proses
pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah informasi yang minimum harus dipenuhi oleh
setiap penyelenggara Tanda Tangan Elektronik.
Pasal 15
Ayat (1)
"Andal" artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
"Aman" artinya Sistem Elektronik terlindungi secara fisik dan nonfisik.
"Beroperasi sebagaimana mestinya" artinya Sistem Elektronik memiliki kemampuan sesuai dengan
spesifikasinya.
Ayat (2)
"Bertanggung jawab" artinya ada subjek hukum yang bertanggung jawab secara hukum terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Undang‐Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan Teknologi Informasi oleh
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
Pemanfaatan Teknologi Informasi harus dilakukan secara baik, bijaksana, bertanggung jawab, efektif,
dan efisien agar dapat diperoleh manfaat yang sebesar‐besarnya bagi masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional termasuk yang dilakukan
secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi
kontrak tersebut. Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat dilakukan jika dalam
kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata
internasional (HPI).
Ayat (3)
Dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip atau asas
hukum perdata internasional yang akan ditetapkan sebagai hukum yang berlaku pada kontrak tersebut.
Ayat (4)
Forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak internasional, termasuk yang dilakukan secara
elektronik, adalah forum yang dipilih oleh para pihak. Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya.
Ayat (5)
Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan forum berlaku berdasarkan prinsip
atau asas hukum perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal tergugat (the
basis of presence) dan efektivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat berada
(principle of effectiveness) .
Pasal 19
Yang dimaksud dengan "disepakati" dalam pasal ini juga mencakup disepakatinya prosedur yang
terdapat dalam Sistem Elektronik yang bersangkutan.
Pasal 20
Ayat (1)
Transaksi Elektronik terjadi pada saat kesepakatan antara para pihak yang dapat berupa, antara lain
pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi (personal identification number/PIN) atau sandi
lewat (password).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dikuasakan" dalam ketentuan ini sebaiknya dinyatakan dalam surat kuasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "fitur" adalah fasilitas yang memberikan kesempatan kepada pengguna Agen
Elektronik untuk melakukan perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya fasilitas
pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Nama Domain berupa alamat atau jati diri penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau
masyarakat, yang perolehannya didasarkan pada prinsip pendaftar pertama (first come first serve).
Prinsip pendaftar pertama berbeda antara ketentuan dalam Nama Domain dan dalam bidang hak
kekayaan intelektual karena tidak diperlukan pemeriksaan substantif, seperti pemeriksaan dalam
pendaftaran merek dan paten.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "melanggar hak Orang lain", misalnya melanggar merek terdaftar, nama badan
hukum terdaftar, nama Orang terkenal, dan nama sejenisnya yang pada intinya merugikan Orang lain.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "penggunaan Nama Domain secara tanpa hak" adalah pendaftaran dan
penggunaan Nama Domain yang semata‐mata ditujukan untuk menghalangi atau menghambat Orang
lain untuk menggunakan nama yang intuitif dengan keberadaan nama dirinya atau nama produknya,
atau untuk mendompleng reputasi Orang yang sudah terkenal atau ternama, atau untuk menyesatkan
konsumen.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun dan didaftarkan sebagai karya
intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi
oleh Undang‐Undang ini dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang‐undangan.
Pasal 26
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari
hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam
gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan
memata‐matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data
seseorang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Secara teknis perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat dilakukan, antara lain
dengan:
a. melakukan komunikasi, mengirimkan, memancarkan atau sengaja berusaha mewujudkan hal‐hal
tersebut kepada siapa pun yang tidak berhak untuk menerimanya; atau
b. sengaja menghalangi agar informasi dimaksud tidak dapat atau gagal diterima oleh yang
berwenang menerimanya di lingkungan pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Ayat (3)
Sistem pengamanan adalah sistem yang membatasi akses Komputer atau melarang akses ke dalam
Komputer dengan berdasarkan kategorisasi atau klasifikasi pengguna beserta tingkatan kewenangan
yang ditentukan.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam,
membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun
jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kegiatan penelitian" adalah penelitian yang dilaksanakan oleh lembaga
penelitian yang memiliki izin.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "lembaga yang dibentuk oleh masyarakat" merupakan lembaga yang bergerak di
bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "ahli" adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi
Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis mengenai
pengetahuannya tersebut.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghukum setiap perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 34 yang dilakukan oleh korporasi
(corporate crime) dan/atau oleh pengurus dan/atau staf yang memiliki kapasitas untuk:
a. mewakili korporasi;
b. mengambil keputusan dalam korporasi;
c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi;
d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

posted under | 0 Comments

ISTILAH-ISTILAH DALAM DUNIA IT

1.
ISDN - Integrated Services Digital Network. Pada dasarnya, ISDN merupakan merupakan jalan untuk melayani transfer data dengan kecepatan lebih tinggi melalui saluran telepon reguler. ISDN memungkinkan kecepatan transfer data hingga 128.000 bps (bit per detik). Tidak seperti DSL, ISDN dapat dikoneksikan dengan lokasi lain seperti halnya saluran telepon, sepanjang lokasi tersebut juga terhubung dengan jaringan ISDN.
2.
Leased Line - Saluran telepon atau kabel fiber optik yang disewa untuk penggunaan selama 24 jam sehari untuk menghubungkan satu lokasi ke lokasi lainnya. Internet berkecepatan tinggi biasanya menggunakan saluran ini.
3.
ADSL - Asymetric Digital Subscriber Line. Sebuah tipe DSL dimana upstream dan downstream berjalan pada kecepatan yang berbeda. Dalam hal ini, downstream biasanya lebih tinggi. Konfigurasi yang umum memungkinkan downstream hingga 1,544 mbps (megabit per detik) dan 128 kbps (kilobit per detik) untuk upstream. Secara teori, ASDL dapat melayani kecepatan hingga 9 mbps untuk downstream dan 540 kbps untuk upstream.
4.
Bandwidth - Besaran yang menunjukkan seberapa banyak data yang dapat dilewatkan dalam koneksi melalui sebuah network.
5.
Binary - Biner. Yaitu informasi yang seluruhnya tersusun atas 0 dan 1. Istilah ini biasanya merujuk pada file yang bukan berformat teks, seperti halnya file grafis.
6.
DNS - Domain Name Service. Merupakan layanan di Internet untuk jaringan yang menggunakan TCP/IP. Layanan ini digunakan untuk mengidentifikasi sebuah komputer dengan nama bukan dengan menggunakan alamat IP (IP address). Singkatnya DNS melakukan konversi dari nama ke angka. DNS dilakukan secara desentralisasi, dimana setiap daerah atau tingkat organisasi memiliki domain sendiri. Masing-masing memberikan servis DNS untuk domain yang dikelola.
7.
DSL - Digital Subscriber Line. Sebuah metode transfer data melalui saluran telepon reguler. Sirkuit DSL dikonfigurasikan untuk menghubungkan dua lokasi yang spesifik, seperti halnya pada sambungan Leased Line (DSL berbeda dengan Leased Line). Koneksi melalui DSL jauh lebih cepat dibandingkan dengan koneksi melalui saluran telepon reguler walaupun keduanya sama-sama menggunakan kabel tembaga. Konfigurasi DSL memungkinkan upstream maupun downstream berjalan pada kecepatan yang berbeda (lihat ASDL) maupun dalam kecepatan sama (lihat SDSL). DSL menawarkan alternatif yang lebih murah dibandingkan dengan ISDN.
8.
Email - Electronic Mail. Pesan, biasanya berupa teks, yang dikirimkan dari satu alamat ke alamat lain di jaringan internet. Sebuah alamat email yang mewakili banyak alamat email sekaligus disebut sebagai mailing list. Sebuah alamat email biasanya memiliki format semacam username@host.domain, misalnya: myname@mydomain.com.
9.
ARPANet - Advanced Research Projects Agency Network. Jaringan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Internet. Dibangun pada akhir dasawarsa 60-an hingga awal dasawarsa 70-an oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sebagai percobaan untuk membentuk sebuah jaringan berskala besar (WAN) yang menghubungkan komputer-komputer di berbagai lokasi dengan sistem yang berbeda-beda pula namun dapat diakses sebagai sebuah kesatuan untuk dapat saling memanfaatkan resource masing-masing.
10.
Gateway - Dalam pengertian teknis, istilah ini mengacu pada pengaturan hardware maupun software yang menterjemahkan antara dua protokol yang berbeda. Pengertian yang lebih umum untuk istilah ini adalah sebuah mekanisme yang menyediakan akses ke sebuah sistem lain yang terhubung dalam sebuah network.
11.
MIME - Multi Purpose Internet Mail Extensions. Ekstensi email yang diciptakan untuk mempermudah pengiriman berkas melalui attachment pada email.
12.
NNTP - Network News Transfer Protocol. protokol yang digunakan untuk mengakses atau transfer artikel yang diposkan di Usenet news. Program pembaca news (news reader) menggunakan protokol ini untuk mengakses news. NNTP bekerja di atas protokol TCP/IP dengan menggunakan port 119.
13.
MTA - Mail Transport Agent. Perangkat lunak yang bekerja mengantarkan e-mail kepada user. Adapun program untuk membaca e-mail dikenal dengan istilah MUA (Mail User Agent).
14.
Host - Sebuah komputer dalam sebuah network yang menyediakan layanan untuk komputer lainnya yang tersambung dalam network yang sama.
15.
IMAP - Internet Message Access Protocol. Protokol yang didisain untuk mengakses e-mail. protokol lainnya yang sering digunakan adalah POP.
16.
Node - Suatu komputer tunggal yang tersambung dalam sebuah network.
17
PERL - Sebuah bahasa pemrograman yang dikembangkan oleh Larry Wall yang sering dipakai untuk mengimplementasikan script CGI di World Wide Web. Bahasa Perl diimplementasikan dalam sebuah interpreter yang tersedia untuk berbagai macam sistem operasi, diantaranya Windows, Unix hingga Macintosh.
18.
PSTN - Public Switched Telephone Network. Sebutan untuk saluran telepon konvensional yang menggunakan kabel.
19.
SGML - Standard Generalized Markup Language. Nama populer dari ISO Standard 8879 (tahun 1986) yang merupakan standar ISO (International Organization for Standarization) untuk pertukaran dokumen secara elektronik dalam bentuk hypertext.
20.
UDP - User Datagram Protocol. Salah satu protokol untuk keperluan transfer data yang merupakan bagian dari TCP/IP. UDP merujuk kepada paket data yang tidak menyediakan keterangan mengenai alamat asalnya saat paket data tersebut diterima.

posted under | 0 Comments

CONTOH KECIL CYBER FRAUD DALAM IT

Desain Sistem Proteksi Jaringan Line Telepon terhadap Clip on Fraud

Fraudster secara sengaja melakukan kecurangan-kecurangan untuk mendapatkan berbagai fasilitas yang disediakan oleh penyedia jasa telekomunikasi. Mereka melakukan dengan memanfaatkan kelemahan teknis sistem atau perangkat telekomunikasi itu sendiri, kelemahan manajemen atau pengelola telekomunikasi. Sayangnya, problem dan penyebabnya belum banyak diketahui oleh pihak pengelola maupun pengguna, kecuali mereka (yang menjadi korban fraud) harus menerima tanggungan rekening telepon yang besar.

Contoh kasus yang paling banyak terjadi disekitar kita adalah pencurian pulsa dengan cara memparalel pair kabel telepon (cip on fraud).

Tugas akhir ini merupakan penyelesaian alternatif dari beberapa konsep penyelesaian terhadap kasus pencurian pulsa lewat paralel kabel telepon (subscribe) yang pernah ada. Dengan menggunakan asumsi-asumsi teori dan empiris, dibangun beberapa asumsi cara/proses penggagalan terhadap kasus clip on fraud.

Disinilah, kemudian didesain sebuah sistem proteksi jaringan line telepon terhadap clip on fraud dengan menggunakan pembacaan taraf-taraf tegangan. Dengan diuji dan dianalisis secara teoritis sekaligus dibantu software CM2000 diharapkan desain yang dibangun memiliki perfoma yang baik dan aplikatif.

Fraud Pada Credit Card
Mulai saat ini para pelaku kejahatan kartu kredit di Indonesia harus berpikir 100 kali sebelum melakukan perbuatan tak terpuji itu.
Mengapa? Sebab, aparat penegak hukum di negeri kita saat ini sudah tidak basa-basi lagi dalam memberangus praktik kejahatan kartu kredit yang memang semakin merajalela. Pengadilan Negeri Gianyar, Bali, pada 6 Juni lalu baru saja menjatuhkan putusan pidana 2,8 tahun atas Beny Wong, seorang terdakwa pemalsu kartu kredit.

Sebelumnya, terdakwa yang sama sudah mendapatkan hukuman tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 14 September 2004. Sehingga, secara keseluruhan pemalsu kartu kredit itu harus mendekam di bui selama 5 tahun 8 bulan atas kejahatan perbankan yang sudah dilakukannya.

Putusan itu boleh jadi merupakan angin segar bagi upaya pemberantasan kejahatan kartu kredit di Indonesia. Hukuman pidana 5 tahun 8 bulan merupakan putusan tertinggi dalam sejarah kartu kredit di Indonesia sejak industri itu diperkenalkan pertama kali di Tanah Air sekitar 1985 silam.

Sebelum ini, hukuman untuk pelaku pemalsuan kartu kredit paling tinggi adalah empat tahun, terakhir diputus di Pengadilan Bandung pada September tahun lalu.
"Semoga pemecahan rekor yang dihasilkan oleh aparat penegak hukum di Bali dapat menjadi tonggak penegakan hukum di bidang kartu kredit dan dapat menularkannya ke daerah-daerah lainnya," ujar Dodit W. Probojakti, koordinator manajemen risiko Asosiasi Kartu Kredit Indonesia - forum yang mewadahi para penerbit kartu kredit di Tanah Air.

Semakin galaknya hukum kejahatan kartu kredit tentu merupakan buah dari upaya semua pihak terkait dengan Criminal Justice System di Indonesia. Diharapkan, kondisi itu akan menimbukan efek jera bagi para pelaku pemalsuan kartu kredit di Indonesia, sekaligus meminimalkan kejahatan serupa di masa mendatang. Belakangan, AKKI, Bank Indonesia , dan aparat penegak hukum terus mempererat kerja sama untuk menekan praktik kejahatan kartu kredit.

Kronologis Kisah sukses pengungkapan kejahatan kartu kredit yang dilakukan oleh Beny Wong tentu tak lepas dari kerja sama pihak-pihak terkait.
Polsek Sukawati, kabupaten Gianyar agaknya perlu secara khusus mendapat acungan jempol atas kerja kerasnya itu. Pengusutan kasus itu juga melibatkan Robert Salusu dari Citibank sebagai pelapor, I.Nyoman Tomi Suwarna dari Diners Club Int'l dan I. Nyoman Nara Atmika dari BNI Card Centre, keduanya bertindak sebagai saksi ahli. Keberhasilan pengungkapan perkara kejahatan kartu kredit juga tidak terlepas dari kejelian merchant, dalam hal ini saksi merchant adalah Wayan Eka dari Hardy's Batubulan.

Kisah penangkapan Beny Wong bermula saat pria itu melakukan transaksi di Hardy's Supermarket Batubulan Gianyar dengan menggunakan kartu kredit Citibank bernomor 4541 7900 1413 0605 atas nama Wahyu Nugroho. Saat itu transaksi berhasil dilakukan.
Namun, pada tanggal yang sama, Beny Wong kembali berbelanja di Hardy's Supermarket Sanur. Baru pada saat itu terdakwa yang menggunakan empat kartu kredit palsu. Barang yang dipalsukan terdakwa adalah Mastercard dari BNI, Visa dari Standard Cartered Bank, serta Mastercard dan Visa dari Citibank.

Karena melakukan transaksi di dua tempat yang berbeda, terdakwa kemudian harus menjalani dua kali proses persidangan, yaitu di Pengadilan Negeri Denpasar dan Gianyar Transaksi yang dilakukan Beny Wong di Gianyar dilaporkan ke POLSEK Sukawati Gianyar pada 15 Juli 2004. Hasilnya, pada 14 September 2004 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang dipimpin oleh Hakim Ketua Arif Supratman SH memberikan "hadiah" kepada terdakwa berupa putusan tiga tahun. Semula, dalam proses persidangan itu jaksa mengajukan tuntutan pidana empat tahun kepada terdakwa sesuai pasal 263 KUHP yang berbunyi, Barang siapa membuat surat palsu..., karena pemalsuan tersebut, dipidana penjara paling lama enam tahun.. "Saudara terdakwa punya kesempatan seminggu untuk banding," ujar hakim saat itu. Namun, baik terdakwa maupun jaksa saat itu langsung menerima putusan hakim.

Sembilan bulan kemudian, tepatnya 6 Juni 2005, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gianyar yang dipimpin oleh Hakim Ketua Gede Ginarsa dan Jaksa Penuntut Umum Ida Ayu Surasmi mengetukkan palu untuk terdakwa yang sama dengan putusan 2 tahun 8 bulan. Secara keseluruhan, hukuman atas terdakwa pemalsuan kartu kredit di Bali itu adalah 5 tahun 8 bulan. Menurut Dodit, dalam setahun terakhir terdapat sekitar 15 kasus pemalsuan kartu kredit yang terungkap. "Masa hukumannya berkisar 1 tahun sampai 4 tahun."
Tetapi, yang tidak kalah penting, tentu upaya pengungkapan kasus-kasus pemalsuan kartu kredit harus terus dikembangkan untuk mengetahui kemungkinan adanya keterlibatan jaringan yang lebih luas.

Pekerjaan rumah Di tengah pertumbuhan industri kartu kredit yang semakin deras, upaya pemberantasan praktik kejahatan kartu kredit memang menjadi suatu keharusan. Selama ini Indonesia sudah cukup dikenal sebagai sarang kejahatan melalui Internet (cyber fraud). Meski tidak setinggi di Malaysia, namun praktik pemalsuan kartu kredit di Indonesia sudah cukup memprihatinkan.

Menurut catatan bank sentral, modus fraud menggunakan kartu kredit selama tahun lalu naik menjadi 27 kasus dibanding tahun sebelumnya sebanyak 13 kasus. Angka itu merupakan yang tertinggi dibanding modus lainnya seperti fraud application, perusahaan fiktif, maupun pembajakan.

Tak saja untuk melindungi konsumen, upaya pemberantasan kejahatan kartu kredit tentu juga ditujukan untuk melindungi lembaga penerbit kartu, negara, termasuk masyarakat sebagai pengguna layanan tersebut.
Menurut catatan AKKI, jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia saat ini mencapai 5.8 juta kartu, dengan total kredit sebesar Rp 11 triliun-Rp14 triliun dengan tingkat pertumbuhan sebesar 20% hingga 30% per tahun. Upaya pemberantasan kejahatan kartu kredit saja tentu tidak cukup. Masih banyak hal yang perlu dibenahi di industri kartu kredit, yang notabene menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ten-tunya mempunyai catatan khusus mengenai seberapa besar keluhan konsumen atas layanan kartu kredit, mulai dari praktik debt collector, bunga berbunga yang mencekik nasabah, hingga meningkatnya angka kredit macet. "Sebagian besar nasabah yang datang ke YLKI mengaku tidak bisa melunasi utang kartu kreditnya karena praktik bunga berbunga," ujar ketua umum YLKI, Indah Sukmaningsih pada suatu ketika.

Selain menggenjot pertumbuhan kartu, upaya edukasi pasar (market education) tentu tidak boleh dilupakan oleh lembaga penerbit kartu kredit sehingga masyarakat dapat menggunakan kartu kreditnya secara bijak. Yang tidak kalah penting, sebagian negara saat ini sudah mulai memberlakukan standar EMV (Euro Mastercard Visa Payment System) compliance untuk menekan tingginya angka fraud. Malaysia sudah memberlakukan standar itu sejak tahun lalu.
Di Indonesia, sebagian penerbit memang sudah memulai langkah migrasi ke standar EMV. Namun, untuk mengingatkan penerbit agar tidak lupa mengganti kartunya dengan kartu berbasis chip, koordinasi dari bank sentral dan asosiasi ternyata masih ditunggu-tunggu. Di sisi lain, BI justru enggan mengeluarkan aturan khusus untuk menggiring bank menggunakan standar EMV. "Sebagai upaya meningkatkan keamanan kartu kredit sebagai alat bayar, kami sangat mendukung penggunaan kartu chip," ujar Dyah Nastiti, Direktur Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, pekan lalu.

Akan tetapi, sebagai regulator BI tidak dapat memaksa penggunaan teknologi tertentu karena Indonesia menganut prinsip open technology. Bagi lembaga penerbit, kelambatan migrasi ke standar EMV hanya akan menyebabkan institusinya harus menanggung kerugian jika terjadi fraud-terkait dengan aturan shift compliance yang sudah mulai diberlakukan secara internasional pada 1 Januari 2006. Untuk yang ini mudah-mudahan tidak ada masalah lagi karena perbankan menyatakan kesiapannya untuk mengganti seluruh alat gesek EDC (Electronic Data Capture) sehingga sudah seluruhnya berbasis EMV pada akhir tahun ini.

Akan tetapi, nasabah tentu juga berkepentingan dengan standar EMV tersebut. Beberapa konsumen sudah mulai mengeluhkan kartu kreditnya ditolak di Malaysia karena belum menggunakan chip. Ini tentu PR penting bagi pelaku industri kartu kredit di Tanah Air.

posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda